TAGACEH – Sebagai ASN asal Aceh yang sedang menjalani tugas belajar di Sumatera Utara, saya kerap memperhatikan hal-hal kecil yang mencerminkan budaya kita sehari-hari. Salah satunya adalah cara masyarakat bergerak di ruang publik. Belakangan ini, media sosial ramai memperdebatkan wacana peralihan plat kendaraan dari BL ke BK yang disampaikan oleh Gubernur Sumut, Bobby Nasution.
Perdebatan itu bukan sekadar soal administrasi, melainkan juga soal identitas dan kebanggaan daerah. Namun di balik hiruk pikuk itu, saya justru melihat persoalan yang lebih mendasar: kita terlalu sibuk memperdebatkan plat kendaraan, tetapi jarang memikirkan bagaimana kita bergerak sebagai manusia.
Di banyak ruas jalan di Aceh maupun Sumatera Utara, pemandangan pejalan kaki semakin langka. Trotoar sering rusak, dipenuhi parkiran atau pedagang kaki lima. Orang lebih memilih menyalakan motor bahkan hanya untuk menempuh jarak ratusan meter. Dalam pandangan sosial yang berkembang, berjalan kaki seolah identik dengan kemiskinan, keterpaksaan, bahkan kegilaan.
Sementara itu, kendaraan menjadi simbol status, dan plat kendaraan berubah menjadi penanda gengsi dan identitas daerah.
Kontras sekali bila dibandingkan dengan negara-negara maju. Di Tokyo, Seoul, Amsterdam, hingga Berlin — berjalan kaki bukan tanda kekurangan, melainkan gaya hidup sadar dan modern.
Kota-kota itu justru menata ruangnya agar ramah pejalan kaki: trotoar lebar, rute aman, dan transportasi umum terintegrasi. Para pejabat, pegawai, hingga pengusaha besar berjalan kaki tanpa rasa malu.
Di sana, martabat manusia tidak ditentukan oleh kendaraan yang dikendarai, melainkan oleh kesadaran menjaga lingkungan dan kesehatan diri.
Mereka memahami bahwa kemajuan bukan berarti semakin cepat berlari dengan mesin, tapi semakin bijak melangkah dengan kaki sendiri.
Sebaliknya, di Aceh dan Sumut, kesibukan ekonomi membuat kita terjebak dalam ritme yang serba terburu-buru. Masyarakat bekerja dari pagi hingga malam, berpacu dengan waktu, dan memandang kenyamanan sebagai sesuatu yang harus instan.
Akibatnya, kita kehilangan banyak hal: ruang sosial, interaksi manusia, bahkan kesempatan untuk sekadar menatap langit dan merasakan tanah di bawah kaki. Kita makin cepat bergerak, tapi makin jauh dari kehidupan itu sendiri.
Berjalan kaki sesungguhnya lebih dari sekadar aktivitas fisik. Ia adalah tindakan sosial, ekologis, dan spiritual. Ia mengajarkan kesederhanaan, kesadaran, dan koneksi dengan lingkungan sekitar.
Di tengah kemerosotan sosial dan kelelahan akibat gaya hidup ekonomi yang menekan, berjalan kaki bisa menjadi bentuk perlawanan kecil — mengembalikan keseimbangan antara tubuh dan pikiran, antara manusia dan lingkungannya.
Sebagai ASN yang diberi kesempatan menimba ilmu di luar daerah, saya melihat bahwa pembangunan bukan hanya soal infrastruktur besar dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga pembangunan karakter masyarakat. Pemerintah daerah perlu menata kembali ruang kota agar ramah bagi pejalan kaki, menanam pohon rindang, memperbaiki trotoar, dan mengajak masyarakat untuk berjalan dengan bangga.
Sebab identitas sejati sebuah daerah tidak ditentukan oleh huruf di plat kendaraannya, melainkan oleh bagaimana warganya melangkah — dengan kesadaran, dengan empati, dan dengan rasa kemanusiaan yang tinggi.
Mungkin sudah waktunya Aceh dan Sumut kembali belajar berjalan. Bukan karena tidak punya kendaraan, tetapi karena kita ingin kembali menjadi manusia — yang melangkah, menatap, dan hidup dengan penuh kesadaran.
Penulis adalah Rahmat Nur, ASN asal Aceh yang sedang menjalani Pendidikan S2 di Kampus STIE Bina Karya Tebing Tinggi